Sponsor

Friday, March 14, 2014

Kisah Pak Tua - Tanah 'Kemerdekaan' Yang Kita Pijak Ini Berhutang Pada Darahnya....

Sebentuk tubuh tua ringkih, tertunduk lesu, Anwar nama pak tua itu. Umurnya sudah 94 tahun. Dia pengemis tertua di Kota Padang. Masa muda cukup hebat, tapi berakhir tragis. Sepintas, Pak Tua memang tak beda dengan pengemis lain. Berkemeja lusuh, sandal rogeh, dan berkopiah luntur. Kulitnya kerepot dengan mata kuyu yang menghitam. Mulutnya kering, dengan gigi yang hanya tinggal dua. Selalu saja berharap belas kasih. Pada setiap yang lalu di depannya, Pak Tua mengulurkan tangan. Mengharapkan sesuatu dari pemberian yang pengasih dijalanan.

Tapi, disebalik penampilan nya yang begitu, siapa sangka, Pak tua adalah seorang pejuang. Menggalas senjata tatkala Indonesia diamuk penjajah. Dia adalah Komandan Kompeni 3 Sumatera Bahagian Selatan. Pemimpin yang mahir empat bahasa. Dia fasih berbicara bahasa Inggris, Jepun, Belanda dan tentu saja bahasa Indonesia. Akan tetapi, kesusahan hidupnya mengheret Pak Tua kelembah kemiskinan. Menyingkap kembali pengalamannya oleh penulis, katanya...“Tak perlu. Jangan disebut lagi masa lalu. Itu sudah habis. Jangan dikenang lagi,”
Pak Tua berasal dari keluarga Petani. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Pak Tua. 94 tahun sudah berlalu. Masa mudanya dihabiskan di pinggiran Kota Padang itu. Tamat sekolah tahun 1930. Mulanya bekerja secara rambang. Akhirnya dia diterima sebagai kelasi kapal.  Tahun 1932 sampai 1939 Pak Tua berlayar. Banyak pengalaman Pak Tua...katanya “Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mahu bersenang-senang di atas kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa untuk ikut berjuang,” terang Pak Tua...

Parut kecil bekas peluru yang menghiasi kaki kanannya, membuktikan perjuangan Pak Tua membela nasib bangsanya. Kerana tembakan itu, kini Pak Tua berjalan pincang. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang Presiden-red). Waktu itu hari masih pagi. Perjanjian Linggarjati baru saja disepakati. Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke barak,” terang Pak Tua...

Pak Tua  pernah merasai kehidupan di sebalik jeriji besi. “Empat tahun saya di kurung. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu, tahun 1946 sedang bergejolak. Kala melewati Padang panjang saya ditangkap Tentera Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih sakit. Saya di ikat, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Pak Tua mengenang masa lalunya....
 Di Padang panjang, Pak Tua diperlakukan sewenangnya oleh Belanda. Di hentam dengan buntut senjata, dihunus belati kerana dipaksa minum air kencing. Hampir tiap hari menyinggahi kerongkongan Pak Tua. Namun semangat keperwiraan Pak Tua tidak mudah goyah. “Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan diikat kawat berduri, kaki dirantai golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di campur kencing,” Ujar Pak Tua lagi...

Kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya tentera Belanda. Apakah saya berjuang dan jadi tentera kerana hanya kedudukan dan jabatan semata ? Saya jawab aja apa adanya ? Berjuang untuk negara, bukan kedudukan. Bila kelak mati di sini. Saya bangga, kerana itu demi negara,” cerita Pak Tua....
 Pak Tua berjuang terus. Sampai dia sendiri lupa akan keluarganya. Pak Tua pernah menikah dengan seorang wanita Belakang Olo. Tapi hanya sebentar Pak tua mengecapi keindahan rumah tangga. Isterinya mati kerana kolera dan kekurangan asupan gizi, ikut juga tiada anak yang dikandungnya. Pak Tua baru tahu isterinya meninggal selepas empat bulan kemudian, tepatnya ketika dia pulang bergerilya.

Lepas dari itu, Indonesia akhirnya merdeka dengan penuh. Namun tak begitu bagi Pak Tua. Tidak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangan yang dikibarkannya seakan dilupakan. Pak Tua hilang di tengah gegak gempita kemerdekaan. Ditambah kematian isteri, seolah-olah mengundang petaka. Pak Tua kehilangan semangat hidup. Sempat terjebak ke dunia hitam. Pak Tua bertaubat. Tapi, hidup memang tidak pernah berpihak pada Pak Tua. Semakin lama semakin dilupakan orang. Hingga terpaksa memilih jalan sebagai pengemis jadi pilihan terakhirnya.

‘Tidak ada tanda jasa. Tak ada lencana penghormatan yang diterima Pak Tua’. Bahkan gelaran pahlawan veteran pun tidak pernah dirasainya... “Saya tak minta apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi wang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, ada kawan yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang menjalani masa tuanya. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tu,” jawab Pak Tua... Dia segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL Mubarah, Sawahan.
Memang, dulu Pak Tua pernah diberi sijil veteran.  Namun kerana jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat sakti” itu hilang entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Pak Tua untuk menerima haknya sebagai veteran. ...“Kalau tak salah Surat Bintang gerilya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk wang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah....
Kini Pak Tua hidup keseorangan. Perjuangan nya dulu sudah ditelan pembagunan, Dia tak menerima apa-apa dari perjuangan. Sebatas penghormatan pun tidak. Pak Tua terlupakan. Bangsa ini benar-benar sudah berdosa padanya. Pada Pak Tua yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk terus bertahan hidup.

Memang Pak Tua tidak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah kita mahu melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus terbiar sebegini. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak ini berhutang pada darahnya. Sungguh Sedih......

0 comments:

Post a Comment

http://penburukonline.blogspot.my/