Sebentuk
tubuh tua ringkih, tertunduk lesu, Anwar nama pak tua itu. Umurnya sudah
94 tahun. Dia pengemis tertua di Kota Padang. Masa muda cukup hebat, tapi
berakhir tragis. Sepintas, Pak Tua memang tak beda dengan pengemis lain. Berkemeja
lusuh, sandal rogeh,
dan berkopiah luntur. Kulitnya kerepot dengan mata kuyu yang menghitam. Mulutnya
kering, dengan gigi yang hanya tinggal dua. Selalu saja berharap belas kasih.
Pada setiap yang lalu di depannya, Pak Tua mengulurkan tangan. Mengharapkan
sesuatu dari pemberian yang pengasih dijalanan.
Tapi,
disebalik penampilan nya yang begitu, siapa sangka, Pak tua adalah seorang
pejuang. Menggalas senjata tatkala Indonesia diamuk penjajah. Dia adalah
Komandan Kompeni 3 Sumatera Bahagian Selatan. Pemimpin yang mahir empat bahasa.
Dia fasih berbicara bahasa Inggris, Jepun, Belanda dan tentu saja bahasa Indonesia. Akan tetapi, kesusahan hidupnya
mengheret Pak Tua kelembah kemiskinan. Menyingkap kembali pengalamannya oleh
penulis, katanya...“Tak perlu. Jangan disebut lagi masa lalu. Itu sudah habis.
Jangan dikenang lagi,”
Pak
Tua berasal dari keluarga Petani. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut
kelahiran Pak Tua. 94 tahun sudah berlalu. Masa mudanya dihabiskan di pinggiran
Kota Padang itu. Tamat sekolah tahun 1930. Mulanya bekerja secara rambang. Akhirnya
dia diterima sebagai kelasi kapal. Tahun 1932 sampai 1939 Pak Tua
berlayar. Banyak pengalaman Pak Tua...katanya “Saya lulus sekolah Belakang
Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai
ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mahu bersenang-senang di
atas kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri
kebangsaanlah yang memanggil jiwa untuk ikut berjuang,” terang Pak Tua...
Parut
kecil bekas peluru yang menghiasi kaki kanannya, membuktikan perjuangan Pak Tua
membela nasib bangsanya. Kerana tembakan itu, kini Pak Tua berjalan pincang.
“Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang
Presiden-red). Waktu itu hari masih pagi. Perjanjian Linggarjati baru saja
disepakati. Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan
mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena
tembak waktu mau pulang ke barak,” terang Pak Tua...
Pak
Tua pernah merasai kehidupan di sebalik jeriji
besi. “Empat tahun saya di kurung. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang
dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu, tahun 1946 sedang bergejolak. Kala
melewati Padang panjang saya ditangkap Tentera Belanda. Waktu itu, peluru habis
sementara kaki saya masih sakit. Saya di ikat, kaki dirantai, diberi golongan
besi, “ungkap Pak Tua mengenang masa lalunya....
Di
Padang panjang, Pak Tua diperlakukan sewenangnya oleh Belanda. Di hentam dengan
buntut senjata, dihunus belati kerana dipaksa minum air kencing. Hampir tiap
hari menyinggahi kerongkongan Pak Tua. Namun semangat keperwiraan Pak Tua tidak
mudah goyah. “Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan diikat kawat
berduri, kaki dirantai golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk
minum, mereka memberi air putih yang di campur kencing,” Ujar Pak Tua lagi...
Kecintaannya
pada Indonesia tak
pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya tentera Belanda. Apakah saya
berjuang dan jadi tentera kerana hanya kedudukan dan jabatan semata ? Saya
jawab aja apa adanya ? Berjuang untuk negara, bukan kedudukan. Bila kelak mati
di sini. Saya bangga, kerana itu demi negara,” cerita Pak Tua....
Pak
Tua berjuang terus. Sampai dia sendiri lupa akan keluarganya. Pak Tua pernah
menikah dengan seorang wanita Belakang Olo. Tapi hanya sebentar Pak tua
mengecapi keindahan rumah tangga. Isterinya mati kerana kolera dan kekurangan
asupan gizi, ikut juga tiada anak yang dikandungnya. Pak Tua baru tahu isterinya
meninggal selepas empat bulan kemudian, tepatnya ketika dia pulang bergerilya.
Lepas
dari itu, Indonesia akhirnya merdeka dengan penuh. Namun tak begitu bagi Pak
Tua. Tidak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangan yang
dikibarkannya seakan dilupakan. Pak Tua hilang di tengah gegak gempita
kemerdekaan. Ditambah kematian isteri, seolah-olah mengundang petaka. Pak Tua
kehilangan semangat hidup. Sempat terjebak ke dunia hitam. Pak Tua bertaubat.
Tapi, hidup memang tidak pernah berpihak pada Pak Tua. Semakin lama semakin
dilupakan orang. Hingga terpaksa memilih jalan sebagai pengemis jadi pilihan
terakhirnya.
‘Tidak
ada tanda jasa. Tak ada lencana penghormatan yang diterima Pak Tua’. Bahkan
gelaran pahlawan veteran pun tidak pernah dirasainya... “Saya tak minta apapun.
Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk
negara. Tak perlu tanda jasa apalagi wang. Biarlah hidup begini, asal tak
menganggu orang lain. Saya rela. Memang, ada kawan yang ikut mengangkat senjata
kebanyakan tenang menjalani masa tuanya. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang
bukan untuk kemapanan masa tu,” jawab Pak Tua... Dia segera berdiri, pergi minta
segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL Mubarah, Sawahan.
Memang,
dulu Pak Tua pernah diberi sijil veteran. Namun kerana jalan hidupnya
yang sering berpindah tempat “surat sakti” itu hilang entah kemana. Padahal,
surat itu adalah sebagai landasan Pak Tua untuk menerima haknya sebagai
veteran. ...“Kalau tak salah Surat Bintang gerilya. Tapi surat itu sudah
hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari
pemerintah. Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan
kalau saya berjuang bukan untuk wang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta
tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas
kapal. Sekarang saatnya susah....
Kini
Pak Tua hidup keseorangan. Perjuangan nya dulu sudah ditelan pembagunan, Dia
tak menerima apa-apa dari perjuangan. Sebatas penghormatan pun tidak. Pak Tua terlupakan. Bangsa ini benar-benar sudah berdosa padanya. Pada Pak Tua yang
hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk terus bertahan hidup.
Memang
Pak Tua tidak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah kita mahu melihat
orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus terbiar sebegini.
Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak ini berhutang pada
darahnya. Sungguh Sedih......
0 comments:
Post a Comment