BANDUNG - Putri Munawaroh mungkin tak akan melupakan kisah haru yang
terjadi di bulan Ramadhan sekitar 3 tahun lalu. Ia menjadi satu-satunya saksi
hidup syahidnya para mujahidin; Noordin M. Top, Urwah, Aryo Sudarso dan Adib
(suami Putri).
Peristiwa itu ternyata terjadi di
saat umat Islam sedang melaksanakan i’tikaf 10 malam terakhir di bulan
Ramadhan. Subhanallah! Uniknya lagi peristiwa tersebut
terjadi di malam ganjil tanggal 27 Ramadhan 1430 H dimana umat Islam begitu
mendambakan lailatul qadr pada malam tersebut. Hari itu bertepatan dengan
tanggal 17 September 2009.
Alhamdulillah, di sela-sela waktu
istirahat setibanya di rumah mertua Putri Munawaroh di Bandung, Rabu
(25/7/2012) , kontributor (akhwat) voa-islam.com mendapatkan
kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Putri Munawaroh tentang peristiwa
detik-detik terakhir syahidnya para mujahidin tersebut yang belum pernah
terungkap ke media. Berikut ini kutipan wawancara eksklusif dengan Putri
Munawaroh sesi pertama.
Bagaimana
kronologis kejadian malam itu?
Awalnya, putri bersama suami namanya
mas Adib waktu itu kedatangan tamu-tamu yang pada rencana tamu-tamu itu hanya
mampir ke tempat kami sebentar. Setelah itu mereka pindah lagi, jadi kami hanya
menerima tamu yang ternyata bagi kepolisian itu mereka adalah DPO.
Terus, selama kurang lebih dua
setengah bulan sampai tiga bulan Putri mengurusi tamu-tamu tersebut. Awalnya
sih putri tidak ngerti, kami tidak pernah berkomunikasi, jadi kami itu
tidak pernah ngobrol, ketemu menatap wajah tamu-tamu kami. jadi segala sesuatu
urusan didalam rumah ustadznya mau apa itu adalah tugas suami, Putri hanya
tugasnya masak dan ngurusin rumah.
Kemudian
tepatnya pada tanggal 27 Ramadhan kita digrebek kepolisan. Tepatnya itu tengah
malam digrebek dan kemudian terjadi baku tembak. Dari dalam
menembak dan dari luar pun juga menembak. Kita semuanya sebelum adu tembak itu
disuruh pihak polisi keluar, tetapi tidak ada jawaban dan kita akhirnya
terjadilah perang baku tembak tersebut.
Terus kemudian kita mengalami terbakar,
jadi rumah waktu itu kita tidak tahu sebabnya apa, tetapi rumah terbakar.
Empat orang ikhwan termasuk suami dan putri semuanya masuk ke kamar mandiri
untuk melindungi diri ketika ada kebakaran.
Karena kita tidak ngerti bagaimana
rumah itu bisa terbakar, habis itu kita dikamar mandi terjadilah baku tembak.
Satu persatu ustadznya meninggal termasuk suami putri.
Dalam
waktu sekitar jam sebelas atau jam dua belas malam itu, Putri merasakan
bahwa tembak-tembakan itu sudah 2 orang ustadz yang syahid. Satu
orang ustadz masih hidup, satu orang suami Putri dan Putri kondisinya masih
hidup.
Kita bertiga masih bisa shalat
Shubuh, jadi dalam waktu jam sebelas sampai subuh itu yang masih tersisa 3
orang. Setelah shubuh itu perperangannya reda kemudian mulai lagi,
tembak-menembak dan kita disuruh menyerah lagi, Subuh-subuh itu kita tetap
disuruh nyerah, tetapi tidak ada tanggapan.
Mulai
lagi bom molotov atau apa gitu dan jatuhlah eternit (atap rumah). Jadi eternit
itu jatuh menimpa putri tepatnya dua kali.
Putri dan suami posisinya kami
berpelukan, suami melindungi perut Putri. Kemudian karena ustadznya tahu dari
atas Putri kena eternit atap, jadi dari depan sudah dilindungi perut Putri, itu
dari belakangnya masih kosong (belum terlindungi, red). Sehingga ada ustadz
yang menggeser mayat salah satu orang yang sudah syahid ke kepunggungnya Putri.
Jadi Putri otomatis dari depan, belakang, atas sudah terlindungi, itu erjadi
setelah subuh.
Setelah itu suami tertembak di
kepalanya. Pokoknya Putri tidak ngerti tiba-tiba beliau tuh langsung ‘dees’. Jadi sudah tidak ada
detak jantung lagi dan jatuh menimpa Putri, namanya juga kita seperti itu jadi
putri sudah kerasa; oh ternyata sudah syahid. Putri kira waktu itu semuanya
sudah syahid.
Jadi memang dari dalam ada perlawanan
dari luar juga ada perlawanan. Setelah itu, sampai pagi kan sudah kelihatan
mataharinya sudah pagi. Tiba-tiba putri tertimpa eternit lagi dari atas,
terus ada satu ustadz langsung meninggal dan berkata; “ya Allah…” seperti itu,
sampai akhirnya syahid semua.
Setelah
beberapa waktu tidak ada tanggapan dan mereka itu mengira kita sudah mati semua
akhirnya dievakuasi. Pertama kali yang dievakuasi adalah jenazah yang berada
dipunggungnya Putri. Itu ditarik oleh mereka, merek tidak berani maju karena
ditakutkan ada bom dan ada tembakan dari yang masih hidup, jadi dari jauh sudah
ditarik jenazahnya tersebut.
Habis itu, Putri kelihatan masih
hidup, para thaghut itu bilang; “itu masih hidup tuh!, nggak kepalanya sudah
pecah!” karena memang Putri tertimpa reruntuhan. Tetapi setelah dievakuasi
disingkirkan ternyata Putri masih hidup dan baru ketahuan, Putri itu perempuan
dan hamil. Akhirnya langsung dilarikan ke rumah sakit dan sampai situ akhirnya
putri tahu bahwa semua ustadz sudah sudah meninggal termasuk suami putri.
[AW/voi]
Copy & Paste - http://panjimas.com/
0 comments:
Post a Comment